Beranda | Artikel
Taufik dari Allah sebagai Kunci Segala Kebaikan
4 hari lalu

Taufik dari Allah sebagai Kunci Segala Kebaikan adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan Kitab Al-Fawaid. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Abdullah TaslimM.A. pada Kamis, 17 Jumadil Akhir 1446 H / 19 Desember 2024 M.

Kajian Islam Tentang Taufik dari Allah sebagai Kunci Segala Kebaikan

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ ۖ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ…

“Barangsiapa yang Allah kehendaki untuk diberi petunjuk, Dia akan melapangkan dadanya untuk menerima Islam. Namun, barang siapa yang Allah kehendaki untuk disesatkan, Dia akan menjadikan dadanya sempit dan sesak seolah-olah ia sedang mendaki ke langit.” (QS. Al-An’am [6]: 125)

Ayat ini menunjukkan bahwa taufik dan hidayah adalah kunci segala kebaikan. Oleh karena itu, hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kita memintanya, karena Dialah satu-satunya pemilik taufik.

Manusia dapat berusaha dengan menyampaikan nasihat dan mengajak kepada kebaikan, tetapi yang menentukan hidayah tetaplah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal ini dapat kita pahami dari kisah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika mendakwahi pamannya, Abu Thalib. Meski Abu Thalib sangat mencintai dan melindungi Nabi dari gangguan kaum kafir Quraisy, hatinya tidak terbuka untuk menerima Islam. Ketika itu, turun firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ ۚ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

“Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau cintai, tetapi Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui siapa yang pantas menerima petunjuk.” (QS. Al-Qasas [28]: 56)

Imam Ibnu Qayyim Rahimahullah menjelaskan bahwa landasan segala kebaikan adalah keyakinan bahwa apa yang Allah kehendaki pasti terjadi, dan apa yang tidak Dia kehendaki tidak akan terjadi. Beriman kepada takdir Allah, bahwa segala sesuatu terjadi dengan kehendak-Nya dan ketetapan-Nya, menjadi landasan segala kebaikan dalam diri seorang hamba.

Subhanallah, inilah manfaat memahami permasalahan aqidah dan iman dengan benar, sesuai dengan pemahaman para sahabat Radhiyallahu ‘Anhum Ajma’in dan para ulama Ahlus Sunah wal Jamaah.

Kenapa ini menjadi asas atau landasan segala kebaikan? Karena dengan keyakinan ini, ketika seorang hamba mengetahui bahwa semua amal shalih yang dikerjakannya adalah nikmat dari Allah, ia akan mensyukuri nikmat tersebut. Kemudahan membaca Al-Qur’an, melaksanakan shalat lima waktu tepat pada waktunya—terlebih lagi bagi laki-laki yang melakukannya secara berjemaah—khusyuk dalam shalat, dan ikhlas dalam beragama adalah nikmat Allah. Bahkan, ini merupakan nikmat terbesar.

Sayangnya, banyak orang hanya memahami nikmat sebatas hal-hal yang bersifat materi. Padahal, kemudahan melakukan kebaikan adalah bentuk taufik dan nikmat dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Nikmat ini harus disyukuri setiap kali kita mendapati diri mampu melakukan kebaikan.

Kita tidak menisbatkan nikmat tersebut kepada kemampuan atau kehebatan diri sendiri, melainkan mengakui bahwa itu berasal dari Allah. Dengan begitu, kita akan mensyukuri limpahan nikmat-Nya dan memohon agar Allah tidak memutuskan nikmat tersebut dari kita.

Seorang hamba yang memahami bahwa nikmat taufik untuk melakukan kebaikan berasal dari Allah akan bersungguh-sungguh memohon kepada-Nya agar tetap diberi kemudahan dalam mengamalkan kebaikan dan ketaatan.

Sebaliknya, keburukan-keburukan terjadi karena Allah berpaling dari seseorang, tidak menolongnya, dan memberikan hukuman atau azab kepadanya. Perbuatan buruk yang dilakukan seseorang adalah akibat Allah berpaling darinya dan tidak memberikan pertolongan.

Karena itu, seorang hamba akan bersungguh-sungguh memohon kepada Allah agar dijauhkan dari perbuatan maksiat dan keburukan. Ia juga akan meminta kepada Allah agar tidak membiarkannya bergantung kepada dirinya sendiri dalam melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan.

Ketika kita menyadari bahwa melakukan kebaikan dan mengamalkan ketaatan adalah nikmat dari Allah, maka kita tidak akan bersandar pada kemampuan diri sendiri. Kita tidak akan menyombongkan diri dengan berkata bahwa kebaikan itu berasal dari kemampuan pribadi atau merasa diri hebat karena mampu meninggalkan keburukan. Tanpa pertolongan Allah, kita juga akan terjerumus ke dalam perbuatan buruk.

Semua karunia dan nikmat kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh sebab itu, kita harus sungguh-sungguh memohon agar Allah tidak menyerahkan kita kepada diri sendiri. Kita memohon agar Allah tidak menjadikan kita bergantung pada kemampuan pribadi dalam melakukan kebaikan maupun meninggalkan keburukan.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengajarkan doa yang penuh makna ini, yang disyariatkan untuk dibaca pada waktu zikir pagi dan petang:

يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ، أَصْلِحْ لِيْ شَأْنِيْ كُلَّهُ وَلاَ تَكِلْنِيْ إِلَى نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ

“Wahai Rabb Yang Maha hidup, Wahai Rabb Yang Maha berdiri sendiri (tidak butuh segala sesuatu) dengan rahmat-Mu aku meminta pertolongan, perbaikilah seluruh keadaanku dan janganlah Engkau menyerahkan diriku kepada diriku sendiri meskipun sekejap mata.” (HR. An-Nasa’i dan yang lainnya)

Lihat: Dzikir pagi dan petang.

Doa ini menunjukkan betapa pentingnya pertolongan Allah dalam setiap aspek kehidupan. Tanpa pertolongan-Nya, seorang hamba berada dalam bahaya kebinasaan.

Sekarang, mari kita perhatikan lebih dalam mengapa pembahasan ini menjadi landasan segala kebaikan. Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata bahwa sesungguhnya, orang-orang yang mengenal agama telah sepakat bahwa segala kebaikan berasal dari taufik yang Allah berikan kepada hamba-Nya. Tanpa taufik dari Allah, seseorang tidak akan mampu melakukan kebaikan atau meninggalkan keburukan, siapa pun dia. Sehebat atau sesaleh apa pun seseorang, tetaplah kebaikan dari Allah yang menjadikan dia mampu mengamalkan amal shalih dan meninggalkan keburukan. Bukan karena kehebatan atau kemampuan dirinya sendiri. Ini adalah kesepakatan semua orang yang mengenal agama.

Sebaliknya, semua keburukan berawal dari berpalingnya Allah Subhanahu wa Ta’ala dari seorang hamba, yakni dengan Allah tidak menolongnya. Khidlan adalah lawan dari taufik. Kebaikan datang dari taufik Allah, sedangkan keburukan terjadi karena Allah berpaling dan tidak memberikan pertolongan kepada hamba-Nya.

Setelah memahami hal ini, mari kita lihat penjelasan para ulama tentang makna taufik. Para ulama sepakat bahwa taufik dari Allah adalah ketika Allah tidak menyerahkan seorang hamba untuk bersandar kepada dirinya sendiri. Sebaliknya, berpalingnya Allah terjadi ketika Allah membiarkan seorang hamba dikuasai oleh hawa nafsunya, bersandar kepada dirinya sendiri, atau menyombongkan dirinya.

Bagaimana pembahasan lengkapnya? Mari download mp3 kajian dan simak penjelasan yang penuh manfaat ini..

Download MP3 Kajian


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/54812-taufik-dari-allah-sebagai-kunci-segala-kebaikan/